Jejak Haramain (1) : Jejak Doa

Komplek Perhotelan Masjid Nabawi , Desember 2018


Bismillah wal hamdulillah ....

Hampir dua tahun berlalu, waktu begitu cepat mengisahkan sebuah perjalanan yang tak pernah terbayangkan. Menjejakkan kaki di tanah yang diharamkan oleh Allah dari perbuatan yang terlarang. Allahu Akbar. Masih lekat dalam ingatan bagaimana rangkaian peristiwa tahap demi tahap di lalui untuk tiba di tempat yang dirindui oleh setiap umat muslim di dunia. Setiap kali teringat perjalanan ke sana, bersamaan dengan itu pula menggenang air mata kerinduan. Karena mengingat dua tanah haram itu mengobati segala gundah gulana. Sedangkan memandang foto perjalanan akan menyisakan kenangan menyejukkan. 

Waktu itu, siapa sangka seorang perantau dari sebuah desa pelosok yang jauh dari hiruk pikuk peradaban manusia kota, bisa terbang selama sembilan jam melintasi perairan luas dan daratan berbagai negara yang tak sempat di eja setiap namanya. Suatu kemustahilan dalam hitungan dan prediksi pikiranku. Tapi Allah membentangkan jalannya kepada siapapun yang terpilih dan yang tertulis di Lauh Mahfuzh-Nya. Dari sini aku belajar, bahwa semustahil apapun keadaan bila Allah menghendaki jalan mana yang tak dapat dibuka. Begitu juga sebaliknya, sekeras apapun kita meminta, jika Allah menunda, tak akan terbuka jua jalannya. 

Jejak haramain (tanah yang diharamkan) akan menjadi bagian penting dalam hidupku hingga esok nanti. Ia akan menjadi suntikan semangat pada diri yang mulai menemukan keletihan berjuang, hingga saat ini ia masih menempati posisi itu. Dan jejak haramain ini dibangun oleh mozaik-mozaik perjalanan yang memberikan hikmah di setiap potongan kisahnya.

Ia bermula dari jejak-jejak doa. 
Saat harapan terasa amat jauh sebab tangan masih terlalu pendek untuk menggapainya, maka doa menjadi jembatan paling baik untuk menghubungkan jiwa kepada harapan tersebut. Jejak doa yang kupilin mengetuk pintu langit agar diberikan kesempatan menjadi salah satu orang yang dipanggil Allah mengunjungi rumah-Nya, yang di sanalah arah kemana umat Islam menghadap ketika shalat. Jejak doa itu lama sekali aku menyusunnya, sekitar 7 tahun sebelum kesempatan itu hadir. Tujuh tahun penantian panjang yang harus dilewati, antara pasti dan tidak, antara ada jalan atau buntu, jejak doa harus tetap hidup.

Kata siapa “pengabulan doa” tergantung pada nasib? Wuiihh ... mungkin istilahnya adalah bukan bagaimana nasib menjadi penentu doa dikabulkan atau tidak. Sebab Allah tak pernah membatasi siapa saja yang boleh memanjatkan doa, dan siapa saja doanya yang diterima. Yang ada hanya rentang waktu Allah memberikan hadiah terbaik untuk hamba yang berdoa. Allah swt., berfirman dalam Surat Al-A'raf yang artinya : "Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."

Tepat satu tahun sebelum keberangkatan, jejak doa itu tiba-tiba kian rapat dan deras. Sekitar pertengahan bulan September 2017 kisah ini mulai berjalan begitu cepat. Berawal dari sebuah kunjungan yang kulakukan di sebuah Rumah Quran bersama seorang sahabat yang juga teman berjuang. Perjalanan kami hanya untuk mengunjungi salah seorang teman satu perguruan kami yang dikabarkan terserang diare beberapa hari terakhir. Sakit yang bukan hanya sekali dua menghampirinya. Entah, apakah karena perantara salah makan atau bukan, wallahu a’lam. Kunjungan diatur sedemikian rupa agar tak salah jadwal dan dapat dipersiapkan buah tangan secukupnya. 

Ba’da sholat zhuhur kami sampai di Rumah Quran. Tiga kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Sesuai dengan yang disyariatkan, bila bertamu dan sudah tiga kali mengucap salam maka pulang adalah pilihan terbaik. Hampir sia-sia perjalanan kami. Alhamdulillaah teringat untuk menelepon. Solusi kebiasaan yang dilakukan orang-orang di saat seperti ini. Dan... hasilnya adalah teman  yang mau dikunjungi nekat-nekatnya sudah ngajar privat. Strong sekali ya.

Akhirnya, kami singgah ke rumah pemilik Rumah Quran. Maa syaa Allah qadarullah... di rumah beliau kami disuguhi otak-otak (salah satu makanan khas Palembang) dan air zamzam. Tahukah apa yang kami rasakan?  Bahagia sekali. Minum air zamzam adalah sesuatu yang sangat langka bagi kami para perantau. Sedangkan air zamzam seperti air ajaib bagi kami. Karena menurut hadits Rasulullah, air zamzam itu khasiatnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh peminumnya. 

Aku dan temanku itu, adalah dua saudara yang diikat dengan tali aqidah. Hingga kami tampak seperti saudara kandung bahkan seringkali disebut si kembar. Padahal kami terpaut usia 1 tahun. Kepada jamuan yang disuguhkan, seketika sebelum air zamzam melewati kerongkongan kami, kedua mata kami terpejam dan hanyut dalam kekhusyukan doa masing-masing. Maka, aku berdoa “Allah yaa Robbi, Dzat Penggenggam hidup dan matiku, izinkan aku bertamu di rumah-Mu yang mulia. Baitullah di Makkah al Mukarromah. Sehingga jika hari ini aku meneguk air zamzam dari orang lain, kelak aku dapat memberi air zamzam pula kepada orang lain. Kemudia mereka juga dapat merasai segarnya air zamzam dan memanjatkan doa sesuai yang dikehendakinya. Allah aku ingin menjadi tamu-Mu sebelum jiwa dan raga engkau pisahkan. Duhai Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, rasa ini tak terbendung lagi, aku ingin sekali ke sana Yaa Allah. Duhai Allah yang Maha Mengetahui keadaan semua hamba, tangan ini tak akan mampu berusaha sendiri untuk berangkat ke sana, maka aku memohon pertolongan pada-Mu yaa Allah. Bila Engkau berkuasa maka tidak ada satu hambatan pun yang akan menghalangi.” Lalu, aku menoleh ke temanku yang telah selesai juga mengucap doa-doa terbaiknya -yang sampai hari ini aku belum tahu apa doanya. Kami saling pandang, lalu meneguk bersama dengan gelas yang berbeda (agar porsinya dapat dinikmati sepenuhnya, hehe). Aaah... siang itu sejuk sekali. Angan kami terbang menuju satu titik. Bangunan hitam berbentuk kubus, yang selama ini kami lihat di sajadah atau di lukisan berbingkai. 

Entah ada apa gerangan. Setelah peristiwa itu, pada setiap pinta pasti tersisipkan doa agar dimudahkan menuju ke sana.

Tahun 2018, Allah mewujudkannya. Seba'da pidato tersampaikan kejutan berikutnya datang. Belum hilang rasa haru karena telah menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang tua di hadapan banyak orang, disusulkan pengumuman penghargaan untuk mahasiswa terbaik saat itu, satu tiket berangkat ke tanah suci, umroh. Dengan biaya ditanggung oleh pihak pelaksana. Entah tak terbayangkan ekspresiku kala itu, menggenggam erat tangan Bapak dan Ibu, serasa kaki tak menapak di lantai gedung yudisium itu. Berjatuhan bulir di sudut mataku. Moment ini yang akan memulai perjalanan berikutnya dan akan di tulis pada lembar blog berikutnya pula.

Sekali lagi, mengukir jejak doa adalah sebuah jalan paling ajaib saat jiwa dan raga terasa mustahil untuk mewujudkan harapan dan cita-cita. Allah adalah sebaik-baik Dzat yang memenuhi janji, termasuk diantaranya janji mengabulkan doa, sebagaimana firman-Nya ,"Dan Tuhanmu berfirman : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu" (Al-Mu'min : 60)

Wallahu a'lam bis showab.


Semoga bermanfaat!!!

Komentar

  1. Terbaik

    kiat memekat terlihat, secercah cahaya menghampiri, asa yg terlanjur dipatrikan kini bersemai bersama pengharapan. sebab hamba yakin, Engkau lah sebaik-baik Sang Pengabul Doa. Yaa Mujiib

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tabarakarrahman.. Cahaya kemuliaan Allah tak akan pernah redup. Harapan terbaik adalah yang digantungkan kepada Dzat yang paling kuat memegang pengharapan.

      Hapus
  2. Maa syaa Allah. Allahu Robbi. Sang Pemilik jiwa. Aku berlindung dari segala nafsu yang ada pada dan yang ada pada makhluk yang Engkau ciptakan. Allahu Akbar. Tiada henti kalimat takbir,syukur sujud mengingat-Mu Allah. Seuntaian doa"yang teruntai, melangit , menyampaikan bait-bait yang indah akan kerinduan Al-Haramain😢😢.
    Thank you mb . inspiration your story😍😍😍

    BalasHapus
  3. Sukses terus kawan, seqiliman aku mbacanya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin yaa Robbal Alamiin. Makasih Tomi doanya ba. Mintak tulung doa untuk segalanya. Kamu jan sukses muneh ba..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Mecca, I'm Coming !

Jejak Haramain (3) : Bandara King Abdul Aziz