Jejak Haramain (3) : Bandara King Abdul Aziz

Sumber : annafardiana.files.wordpress.com

Subhaanalladzii sakh-khoro lanaa haadzaa wa maa kunnaa lahuu muqriniiin, wa innaa ilaa robbinaa lamungqolibuuuun... .

Pesawat Garuda Indonesia rute pertama (Palembang-Jakarta) dengan posisi 2 susun berbanjar diselang satu lorong, setiap shafnya terdiri atas 4 kursi penumpang take off dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II menuju Bandara Soekarno Hatta (Soeta), Jakarta. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 50 menit untuk melintasi jarak kedua pulau ini. Perjalanan ini mengambil transit di Jakarta dan berpindah pesawat dengan nama yang sama namun berbeda ukurannya.

Setiba di bandara Soeta, aku melirik arloji yang menunjukkan pukul 10.45 WIB. Kehadiran kami disambut sedemikian rupa oleh agen travel yang sudah siap di sana. Penyambutan yang hangat sekali. Di sisi lain, aku berdecak kagum memandangi area sekitar bandara yang dilengkapi dengan fasilitas lengkap dan mewah. Seumur-umur baru kali ini singgah ke bandara paling bergengsi di Indonesia, letaknya pun di ibukota negara. Momentum persinggahan ini tidak akan lenyap begitu saja dari ingatan.

Pada sebuah lobi berukuran besar kami dibagikan bag khusus dari agen, lengkap dengan kartu identitas yang harus dikalungkan di leher—ini akan menjadi tanda pengenal paling valid selama perjalanan. Usai pembagian, aku mulai bercakap-cakap mencari teman ngobrol. Karena sejak perjalanan dari Palembang aku belum menemukan teman tetap untuk mengobrol. Empat puluh orang jamaah satu seragam denganku adalah rombongan orang-orang hebat yang berasal dari semua elemen masyarakat. Ada perwakilan dari pemerintah provinsi, guru ngaji, guru teladan, pengawas sekolah, dan lain-lain yang kesemuanya mendapatkan umroh gratis karena prestasi. Maka, berada di tengah rombongan ini, membuatku merasa terharu sekaligus merinding mendengar dedikasi mereka kepada rakyat lewat caranya masing-masing. Allah telah menunjukkan pelajaran berharga hanya melalui obrolan di lobi besar itu.

Seba’da pertemuan singkat ini, kami diajak menyusuri lorong demi lorong bandara. Berkenalan dengan staf agen perjalanan yang enak sekali dipandang. Mereka rapi dan tampak profesional sekali. Ternyata bandara ini sangat luas. Lebih luas dari bandara sebelumnya, rasa letih menghampiri kaki menyusuri lantai-lantai licin berubin. Sesekali melihat troli berseliweran mirip di supermarket, tapi bukan barang isinya melainkan anak-anak kecil yang duduk santai sembari di dorong orang tuanya. Pemandangan yang unik sekali.

Untuk menuju gate tunggu, ada proses pemeriksaan panjang yang dilakukan petugas, karena kali ini bukan rute domestik yang ditempuh melainkan rute lintas negara atau rute internasional. Aku sudah hapal dengan aturan tidak boleh ada air melebihi takaran sekian, pemeriksaan jaket, arloji, ikat pinggang, tas dan lain-lain. Semua dilewati dengan baik meski harus bersabar dalam antrean. Waktu terus berjalan, hampir mendekati zhuhura dan gate tunggu itu semakin dekat. Kami berjalan dengan saling menyusul lalu bertemu dengan rombongan lain dengan seragam yang berbeda. Ya, semuanya adalah saudara sebangsa dan setanah air. Datang dari berbagai penjuru kota Indonesia dengan dialek dan penampilan masing-masing. Aku semakin yakin bahwa menjelajah dan mencintai negeri ini adalah keniscayaan tanpa harus menghadirkan alasan. Duduk 10 menit berbincang ringan sudah cukup merasai bagaimana uniknya masyarakat Indonesia.

Sumber : blogger.com

Ruangan luas dengan hamparan bermacam bentuk sofa telah aku datangi. Mencari posisi paling nyaman dan dekat dengan kamar mandi adalah hal penting yang kulakukan saat itu, mengingat waktu zhuhur sebentar lagi tiba. Bersama dengan seorang yang mulai akrab denganku, kami mulai mengira-ngira letak mushola dan berapa waktu yang akan terpakai untuk melaksanakan sholat jamak zhuhur dan ashar. Perhitungan kami tidak meleset, dengan waktu yang terhitung cermat, pada jam yang ditentukan kami kembali ke ruang tunggu. Sempat ada adegan lupa arah, karena desain tempat wudhu dan mushola di setiap titik adalah sama. Beruntung seragam biru-biru mudah dikenali.

Agen travel dengan sigapnya membagikan makan siang dan makanan ringan, karena jam makan siang telah tiba. Sedangkan dadaku mulai berdegup kencang, entah karena membayangkan keluarga yang semakin jauh akan kutinggalkan atau karena menatap langit di luar bangunan megah tempat kami bernaung saat itu. Apa yang terjadi?

Pikiranku melayang sampai-sampai teman sebelah tak kudengar pembicaraannya. Dalam dunia negosiasi seharusnya ini fatal, dimana seseorang berusaha menawarkan sesuatu tapi pihak kedua tidak menggubris sama sekali, hehe. Awan hitam bergumpal di langit bandara Soeta, perlahan-lahan gerimis yang datang berubah menjadi titik-titik besar yang datang bersahutan, deras sekali. Matahari tertutup awan. Seketika dinding-dinding kaca bandara pun berembun, tempias air hujan. Sempat aku berdiri menatap halaman bandara tempat peswat-pesawat parkir dengan tenangnya. Berair dan basah.

Sementara jam sudah menunjukkan jadwal penerbangan seharusnya. Tapi aku ingat bahwa dalam keadaan tertentu, penerbangan tidak dapat dilanjutkan. Ya, salah satunya adalah pengaruh keadaan cuaca. Otomatis penerbangan tertunda, delayed. Pemandu jamaah berusaha menenangkan beberapa yang terlihat nanar pandangannya. Sambil menikmati roti di tangan siang itu, pandanganku terlanjur menembus langit yang dibasuh hujan. Lamat-lamat bibir berbisik memohon kepada Sang Maha Mengatur cuaca, agar semuanya dimudahkan. Lalu mulai kuketik di mesinpencarian gawai, wilayah mana yang sedang mengalami cuaca ekstrim seperti yang sedang kami rasakan. Irama jantungku saat itu menggambarkan situasi yang sedang tidak baik-baik saja. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.

Menelpon ibu, mungkin akan mengurangi rasa kurang nyaman ini. Terdengar suara sayup dari kejauhan beriringan dengan gelombang rinai hujan, menguatkan sekuat-kuatnya. Kata Ibu hujan itu berkah. “Langit sedang menyambut kalian. Bersamaan dengan hujan akan turun rahmat dan kasih sayang.” Kalimat itu ibarat air mineral yang membasuh hausnya kerongkongan. Menyejukkan sekali. Selang dari itu, kurang lebih 1 jam setengah, cuaca kembali membaik. Dan semua jamaah mulai masuk satu per satu ke badan pesawat yang jauh lebih besar. Terdiri dari 3 baris dengan dua lorong. Setiap shaf terdiri dari 9 kursi penumpang. Belum pernah aku masuk burung besi sebesar ini. Bismillah tawakkaltu ‘alallah.
Sumber : asset.kompas.com

Duduk di sisi kanan pesawat tepat di pinggir jendela, adalah tempat favorit yang selalu kuharapkan di setiap perjalanan udara. Cuaca dingin karena hujan siang itu telah berganti dengan dinginnya AC. Dalam hitungan menit saja, take off  kedua kalinya berjalan mulus. Semua alat elektronik dinon-aktifkan, menyisakan sebuah layar kecil segiempat di setiap kursi penumpang bagian belakang. Layar-layar kecil itu dilengkapi dengan fitur MP3 dan MP4 serta headphone yang diselipkan di kantung setiap kursi. Sebagai salah satu bentuk fasilitas terbaik yang diberikan Garuda Airliness. Aku memanfaatkannya dengan baik. Mengutak-atik isinya dan mencari fitur kesukaan adalah hal yang menyenangkan sembari sesekali melirik ke luar jendela pesawat, menyaksikan hamparan daratan yang kian mengecil dan lautan yang kian membiru.

Penerbangan di siang hari lebih mengasyikkan daripada malam hari. Cahaya matahari dapat menunjukkan apa yang sedang dilintasi oleh pesawat. Sembilan jam perjalanan melayang di udara harus di lalui. Biasanya aku menghabiskan 9 jam atau berjam-jam perjalanan lainnya di darat. Tapi kali ini berbeda. Ah... indah sekali rasanya melihat tanaman-tanaman yang semakin kecil lalu berubah menjadi hamparan hijau, merasakan awan-awan yang tersentuh badan pesawat dan bunyi murottal yang terdengar di headphone-ku hari itu. Ditambah dengan peta otomatis yang muncul di layar-layar kecil itu menunjukkan dimana pesawat berada. Maha Kuasa Allah yang telah memperjalankan kami hari itu.

Di tengah perjalanan yang baru sekitar 5 jam, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah hentakan yang menurutku tidak biasa. Disusul para penumpang yang mulai bertasbih, bertahlil, saling sahut menyahut. Ada apa? Pramugari kembali mengumumkan bahwa sabuk pengaman harus digunakan dan penumpang yang berada di dalam toilet harus kembali ke tempat duduk. Aku mulai mengencangkan sabuk dan ikut komat kamit bersholawat dan istighfar. Bayangan-bayangan negatif mulai berkelebat, drama di film-film yang menunjukkan adegan pesawat jatuh atau terbalik mulai hadir di kepalaku, mungkin juga penumpang yang lain. Di luar jendela suasana mulai gelap. Mungkin perbedaan waktu yang terjadi juga membuat percepatan atau perlambatan siang dan malam. Turbulensi terjadi. Allahu Robbi. Situasi hangat berubah menjadi mencekam. Semua larut dalam tasbih, tahlil dan istighfar masing-masing.

Penumpang di sebelahku adalah seorang nenek lansia beserta cucunya. Kami saling bertatapan, seolah sedang mengecek satu sama lain. Ya, hal yang penting di saat itu adalah memastikan keamanan diri dan orang di sebelah. Lima menit aku tenggelam dalam penyesalan atas dosa-dosa yang telah lalu, terekspresikan dengan istighfar yang tak terputus dan bulir bening yang mulai berjatuhan. Allah tolong selamatkan kami! Ingin rasanya menelpon Ibu, tapi mungkin juga Ibu sudah hanyut dalam rayuan doa mengetuk pintu ‘arsy-Nya agar keselamatan menyertai kami semua. Dan peristiwa ini terjadi beberapa kali, turbulensi tingkat 2 berdasarkan artikel yang pernah kubaca. Dimana pesawat terasa miring dan berubah posisi dan pramugari kesulitan untuk membawa rak makanan dan minuman.
Tak lama kmudian terdengar kalimat dari petugas pesawat bahwa hal ini akan segera berakhir jika pesawat sudah memasuki kawasan Jazirah Arab. Dikarenakan cuaca pada lintasan pesawat sebelumnya memang sedang kurang baik. Berita ini tentunya menjadi kabar baik bagi seluruh penumpang. Dan mungkin sekitar 3 jam kemudian kami sampailangit  Jazirah Arab. Entahlah aku tak begitu fokus lagi melihat peta petunjuk di layar itu. Semua penumpang kembali pada aktivitas masing-masing.

Aku tertidur dengan posisi headphone masih di telingaku. Pelan-pelan terdengar suara operator pesawat bahwa 30 menit akan tiba di tujuan. Bandar Udara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Allahu Akbar! Aku memekik lirih takbir secara spontan. Bagaimana tidak, sembilan jam di udara hampir berlalu. Pramugari mulai mengingatkan dengan bahasa yang amat santun agar posisi kursi ditegakkan dan sabuk pengaman kembali dikencangkan. Mereka baik sekali. Jatah makan semua penumpang terpenuhi dengan variasi yang tidak membosankan. Hanya saja rasanya yang tidak sama dengan masakan Ibu. Ini sudah pasti, bagaimana mungkin kekuatan tungku api disamakan dengan ovennya pesawat. 

Bersisa 10 menit lagi. Kubuka sedikit penutup jendela yang sejak tadi ditutup. Dari kejauhan mulai tampak kerlipan cahaya. Tapi aku belum tahu, cahaya apa itu. Apakah cahaya bintang gemintang malam langit Jeddah atau cahaya rombongan kunang-kunang yang menghampiri jendela?

Pesawat semakin melandai. Ternyata yang kulihat bukan cahaya gemintang bukan pula cahaya kunang-kunang. Cahaya itu adalah lampu-lampu yang menerangi Bandara King Abdul Aziz yang terlihat sejauh mata memandang. Pemandangan itu disempurnakan dengan atap-atap unik bandara berbentuk seperti tenda lancip, berwarna putih. Bandara ini menjadi salah satu bandara penting bagi jamaah yang akan menunaikan ibadah haji dan umroh dari negara Indonesia. Alhamdulillaah.
Sumber : rinaldimunir.files.wordpress.com

Udara dingin menyambut kami malam itu, kisaran pukul 20.00 waktu setempat. Alangkah bahagia hati kami berada di naungan langit Jazirah Arab malam itu. Kuncup bunga di dalam dada itu mulai merekah, sejuk mewangi dihembus semilir angin bandara Jeddah. Tertelungkup sujud wajah di lantai bandara sebagai bentuk rasa syukur yang tidak terkira. Oh iya, jangan ditanya bagaimana rasa air di bandara itu, dinginnya seperti air yang disimpan di dalam kulkas 3 hari lamanya perkiraanku waktu itu. Tangan mulai putih memucat.

Ahlan wa sahlan di kota Jeddah!

Bersama malam kami melewati para petugas imigrasi bandara yang terlihat berbeda posturnya. Ya, khasnya orang Arab. Tidak ada senyuman seperti orang Indonesia. Yang ada hanyalah pemandangan petugas yang semuanya laki-laki. Bermata belok, sebagian berkumis tipis. Membuat tidak bersemangat untuk memasang wajah ceria. Difoto wajah, scan jari, cek visa dan paspor, barulah kemudian kami masuk ruangan berikutnya menuju area parkir bus. Timing yang pas. Bus jemputan sudah datang, disiapkan oleh agen travel cabang Madinah. Bus ini yang akan membawa kami melintasi jalan lurus tanpa kelok selama 5 jam menuju Madinah, dan singgah di sebuah masjid yang tidak tahu namanya untuk menunaikan shalat maghrib dan isya, masih dengan suasana dingin yang semakin mengigit.

Ibu dan Indonesia semakin jauh. Apalagi Bapak dan adik semata wayangku, mereka jauh di desa. Mungkin juga sedang mengalun doa agar aku baik-baik saja.

Terima kasih Bandara King Abdul Aziz, namamu abadi dalam ingatan. Nanti kita cerita tentang kepulangan, dengan kisah yang berbeda meski di tempat dan suasana yang sama.

------Yang belum baca Jejak 2https://sitiqoriahsdm.blogspot.com/2020/04/jejak-haramain-2-suntik-meningitis-dan.html

 Semoga bermanfaat!!!


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Mecca, I'm Coming !

Jejak Haramain (1) : Jejak Doa