Jejak Haramain (2) : Suntik Meningitis dan Ibu
Pelataran Masjid Nabawi, Desember 2018 |
Seba’da pengumuman mendebarkan
waktu itu, aku mulai disibukkan dengan aktivitas persiapan wisuda dan melengkapi
berkas keberangkatan. Sambil memantapkan pilihan-pilihan hidup pasca kampus.
Maklum, aliran dana bantuan dari orang tua telah selesai beriringan dengan
usainya prosesi pemindahan kuncir wisuda waktu itu. Di sisi lain, menjadi anak
Sulung dari dua bersaudara juga mengharuskanku menimbang, menganalisa, dan
mengambil keputusan terbaik di setiap rencana yang ditulis.
Berkas-berkas keberangkatan yang
kuurus sendiri seolah semakin memberiku sinyal bahwa perjalanan itu semakin
dekat. Dibantu pihak fakultas untuk membuka komunikasi dengan pihak terkait. Sekali dua berkas yang diajukan masih juga ada
perbaikan. Alhamdulillah untuk urusan paspor tidak masalah. Karena aku sudah
membuatnya 2 tahun sebelum keberangkatan—karena ada perjalanan luar negeri lainnya
(in syaa Allah diceritakan terpisah). Tinggallah beberapa berkas lainnya,
seperti surat izin orang tua, fotokopi KTP, akta kelahiran, dan pas foto. Di
bagian pas foto ini aku harus mengulang beberapa kali, karena baru tahu kalau
syarat foto berkas keberangkatan hanya foto wajah dan latar belakang putih.
Segala keruwetan berkas tidak menjadi masalah bagiku.
Semua rasa bercampur menjadi
satu, saat aku harus mengantarkan sendiri berkas itu ke kantor yang mengelola keberangkatan
tersebut. Terima kasih kepada temanku yang mengantar waktu itu yang rela
menunggu di atas kendaraan yang kami
pakai. Sementara di dalam, petugas perjalanan menyampaikan bahwa semua jadwal
sedang diurus, belum tahu pasti kapan rencana perjalanan itu akan
diberangkatkan. Tentu saja ini menjadi sesuatu yang mengganjal dalam pikiranku,
bagaimana kalau rencana itu batal atau aku tidak jadi berangkat? Keluar dari
kantor itu, aku lesu. Terpikirkan apa yang baru saja kudengar.
Sepanjang perjalanan pulang ke
rumah sewaan, pikiranku kemana-mana. Satu kalimat harapan yang keluar dari
lisan petugas tersebut adalah, “saya akan telpon untuk kabar selanjutnya”. Aku
menghembuskan napas panjang, hingga lensa kacamataku berembun. Seketika itu
pula harapan itu tumbuh lagi, dan sejak saat itu doa-doa kian melangit. Entah
sampai atau tidak mengetuk pintu arsy-Nya, tetap saja doa itu terus
dilantunkan. Bagiku, berprasangka baik kepada Allah adalah satu-satunya pilihan
yang terbaik.
Selang tiga bulan setelah
pengantaran berkas itu, aku mulai disibukkan dengan aktivitas baruku. Pindahan
tempat sewa yang terbanyak dalam sejarah perantauan yang pernah dijalani.
Bagaimana tidak, dalam waktu 3 bulan 3 kali pula pindahan. What’s wrong?
Tidak apa-apa sebenarnya. Hanya saja mungkin penyesuaian waktu dan tempat saja.
Dan sebenarnya ini bisa saja terjadi kepada siapapun, berjuang seorang diri
mengangkut dan menyusun. Alhamdulillah teman-teman kuliahku berbaik hati ikut
membantu.
Malam itu di tempat pindahan yang
terakhir, gawaiku berdering, suara yang tak asing bagiku meskipun baru sekali
kami bercakap-cakap. Ya, beliau petugas yang bebrapa bulan lalu kutemui untuk
menyerahkan berkas. Beliau mengabarkan bahwa aku harus berangkat ke sebuah
rumah sakit untuk melakukan suntik meningitis. Hal yang kutakutkan ini terjadi.
Karena aku adalah orang yang anti disuntik alias takut. Seumur hidupku bisa
dihitung berapa kali jarum suntik masuk di badanku. Tapi, suntik meningitis
harus dilakukan.
Meningitis adalah salah satu
jenis penyakit yang diesbabkan oleh bakteri Neisseria Meningitidis.
Seseorang yang terserang penyakit ini akan mengalami radang pada selaput
otaknya. Sakit ini termasuk yang jarang ditemukan di Indonesia. Oleh karena
itu, pemerintah menetapkan kebijakan preventif bagi calon jamaah yang ingin
pergi berhaji atau umroh harus mendapatkan vaksin meningitis. Termasuk aku,
tidak ada pilihan lain.
Hari suntik yang mendebarkan, di
awali dengan proses registrasi yang mulus. Lalu bersama dengan calon jamah yang
lain mengambil antrian. Ternyata sebelum disuntik ada pengecekan kesehatan
lain, seperti tes urin. Semua dilalui tanpa hambatan berarti. Berkenalan dan
mengobrol dengan sesama adalah cara jitu yang kupakai sejak dahulu untuk
mengusir rasa bosan dan mengantuk. Tiba giliranku, setelah tawar menawar
sebentar agar suntik dilakukan dengan selembut mungkin. Tidak ada drama. Selesai.
Shock. Entah kapan terakhir kali aku disuntik di lengan. Pedih dan ngilu
sekali rasanya. Lebih pedih dari suntik jarum infus semester 2 dulu.
Tepat di meja pembayaran, aku
baru tahu bahwa pembayaran tidak bisa dilakukan dengan tunai, melainkan harus
menggesek kartu. Bagai disambar kilat, aku yang hanya membawa uang cash
tiba-tiba mematung. Terbayang jika harus pulang membawa vaksin yang tidak
dibayar. Bingung sekali. Tapi, Allah begitu dekat, saat berbalik badan dari counter
pembayaran seorang ibu muda menebak kebingunganku dan menawarkan kartu
kreditnya. Allahu Akbar. Nikmat mana lagi yang aku dustakan. Tabarakarrahman.
Kabar ini pun dikirim ke keluarga
di daerah. Ibu adalah yang paling tahu tentang bagaimana anak perempuannya
paling takut ketemu dengan peralatan medis seperti itu, mirip dengan trauma
sepertinya. Ibu yang paling tahu apa yang harus dilakukan dengan kondisi
seperti ini. Ibu dengan sigapnya memberikan perawatan jarak jauh.
Waktu berlalu begitu saja, tepatnya di akhir bulan November petugas penyelenggara menelpon untuk kedua kalinya, mengumumkan
tanggal keberangkatan. Bergulir air mata haru di pojok kamar sewa yang kuhuni
hingga saat ini. Bergetar seluruh badan,tiba-tiba semuanya terasa hangat.
Telingaku dipenuhi suara-suara takbir yang tak tahu dari mana datangnya. Ini
beberapa kali sempat terjadi. Allah yaa Rahman. Kutarik kembali gawai
yang terlepas tak jauh dariku, menekan menu kontak dan nomor ibu. Percakapan
mengharukan itu terjadi begitu saja.
Berikutnya adalah kesibukan
perrsiapan agen travel berikut pembuatan seragam. Dilanjutkan dengan manasik
haji. Allah lancarkan tanpa hambatan. Hingga tiba hitungan hari lagi berangkat.
Surat cuti kerja sudah didapat. Barang-barang sudah aman dalam koper yang harus
dibawa. Meski sesekali harus di cek ulang daftar barangnya. Dan tabungan sudah
diambil untuk bekal perjalanan.
Kejutan Allah berikutnya adalah
kedatangan ibu ke kota ini, tepat 3 hari sebelum berangkat. Dalam perantauanku,
kedatangan Ibu ke kamar sewaan adalah hal yang langka. Bukan karena Ibu tidak
mau menjenguk, tapi begitulah cara Ibu mengajarkan ketahanan fisik dan mental.
Ibu sekali lagi mengemasi barang-barang bawakanku, mengecek ulang satu-satu
sampai H-1.
Siang itu, pukul 15.00 harusnya
aku sudah berangkat ke bandara mengantar koper untuk di susun di bagasi. Tapi,
siapa sangka itu tak terjadi. “Bu, tolong bangunkan aku pukul 14.45. Karena aku
harus mengantar koper ke bandara.” Ibu mengiyakan. Namun, yang terjadi adalah
aku terbangun karena alarm gawai berbunyi bukankarena Ibu yang membangunkan.
Lewat beberapa menit dari permintaanku kepada Ibu. Ketika ditanya mengapa Ibu
tak membangunkanku? “Kamu kelihatan sangat lelah, Nak. Tidak tega untuk
dibangunkan.” Ibu, kalau begitu artinya aku harus berjalan kilat menuju bandara
yang rutenya sangat jauh. Naik ojek online lalu disambung kereta
listrik. Lama sekali rasanya, hampir pukul 16.30 bandara masih jauh, apa yang
harus kulakukan? Berganti angkutan tidak mungkin. Berdoa dan mengonfirmasi
panitia itulah solusinya. Qadarullah kereta listrik tiba di bandara
pukul 17.15 kalau tidak salah. Alhamdulillah, masih ditunggu.
Malam terakhir bersama Ibu dan
beberapa teman kuliah dilewati dengan perasaan tak menentu. Beberapa cerita
yang dihadirkan tak juga menghilangkan “rasa” itu. Esoknya, ba’da subuh berangkat
menggunakan mobil pribadi milik teman sekelas kuliah dulu. Allah mudahkan lagi.
Semakin dekat ke bandara, perasaan semakin tak menentu. Sesekali kutatap
lamat-lamat wajah Ibu, wajah yang kompak bersama Bapak waktu itu menolak tiket
keberangkatan saat akan keserahkan tiket itu kepada mereka dengan maksud di
antara mereka saja yang berangkat. Tegar
dan kuat sekali wajah Ibu.
Sesampainya di bandara, koridor
kebarangkatan telah dipenuhi orang-orang
berseragam biru yang sama denganku. Kami tiba awal waktu sehingga sempat
menyapa dengan yang lain. Udara dingin pagi itu menjadi saksi pertemuan terakhir
aku dan Ibu sebelum pesawat Garuda Airlines menerbangkan kami. Mataku berair,
seiring hangatnya dekapan ibu. Aku berbisik pada beliau, “Ibu, ikhlaskan
keberangkatanku, ini perjalanan yang baik, berkunjung ke rumah Allah. Aku pergi
dalam keadaan baik diantar Ibu, dan pulang juga akan dalam keadaan baik, In
syaa Allah. Doakan aku di sana.” Aku seakan tahu apa yang dipikirkan Ibu, lewat
bola matanya yang mulai berair.
Menara depan pintu 15 Masjid Nabawi (ada debar cinta di sini ) |
Dan perpisahan pun dimulai,
setelah suara petugas biro perjalanan memanggil agar kami bersiap memasuki
koridor bagian dalam. Dengan rasa haru kulambaikan tangan kepada Ibu dan
teman-teman yang sudah mengantarkanku pagi itu. Bagian ini yang akan selalu
kubawa ketika melalui hari-hari di sana.
Benar sekali bahwa skenario Allah terlalu indah dan tak cukup untuk sekedar diukur dari pandangan mata manusia.
Setelah ini akan ada bagian yang
agak mencemaskan. Masih rute penerbangan domestik. Yang membuat dada gemetar.
Tatap mata nanar. Di luar sana matahari tak bersinar. Air dari langit bercucuran seolah memberi tanda.
Terhura...
BalasHapusoiya ? masa ? terhura itu model serapan atau apa ya :D
HapusDulu. Semasa SMA sempat nulis beberapa cerpen. Beberapa tahun setelahnya muncul aktivitas baru kemudian cerita2ku terabaikan, berlalu dan tak pernah lagi tertulis. Tapi aneh. Setelah berkunjung ke blog sitiqoriahsdm.blogspot.com rasa2nya aku harus menulis lagi. Iya. Work from home mendukung untuk itu ternyata. Wkwkkww.
BalasHapusInspiratif tak henti-henti������
Ayoo nulis lagiii... kita tukeran blog gitu..
Hapus